Bandung- Suaramudanews.com - Akhir-akhir ini, menyeruak istilah-istilah Arbitrer dalam jagat politik. Satu istilah yang sedang booming yaitu "Dansa Politik ". Secara etimologi dari berbagai sumber literasi, sebagian besar mengartikan kata "dansa" memiliki arti tari cara Barat yang dilakukan oleh pasangan pria-wanita dengan berpegangan tangan atau berpelukan yang diiringi musik. Sedangkan arti politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, politik adalah suatu pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan dan juga dasar pemerintahan. Politik adalah suatu cara seseorang dalam membuat suatu keputusan pada kehidupan berkelompok. Oleh karena itu politik juga mengacu pada suatu cara membuat kesepakatan antar manusia sehingga mereka bisa hidup berdampingan atau berkelompok dalam suatu suku, kota bahkan hingga di negara.
Dari dua kata di atas, muncul istilah "dansa politik". Apa kira-kira pengertian dan maksud dari kemunculan konsep atau istilah itu? Tepatkah dilekatkan pada konteks kasus yang dilabelkan pada peristiwa bersangkutan? Mengacu pada pemberitaan berbagai media, istilah "dansa politik" akhir-akhir ini muncul ketika Walikota Solo sebagai kader salah satu partai tertentu dianggap mendukung atau memberikan dukungan terhadap capres lain yang bukan merupakan capres yang diusung oleh induk partai dari walikota bersangkutan. Mengacu pada terminologi kata "dansa" sebagai suatu jenis tarian yang dalam prosesnya berlangsung secara pasangan antara laki-laki dan perempuan, apakah tepat kalau pun peristiwa yang "disimbolikan" itu terjadi sebagai "tarian politik" antara kedua laki-laki? konteks dansa politik atau tarian pasangan politik itu mungkin akan lebih tepat jika peristiwa yang terjadi adalah pertemuan dua tokoh elite partai yang satu laki-laki dan yang satu perempuan maka jelas secara harfiah dan maknawiah lebih relatif logis.
Ataukah, makna dari maksud "dansa politik" dalam kasus tersebut merujuk pada sisi siapa yang agresif/ opensif (yang biasanya dilekatkan pada kaum laki-laki untuk keumuman budaya Timur) dan sikap yang defensif pasif atau menunggu (yang dalam konteks budaya Timur suka dilekatkan pada kaum perempuan). Namun demikian, siapa yang opensif agresif dan siapa yang defensif pasif dalam konteks peristiwa kasus bersangkutan? Untuk menjawab hal tersebut mungkin agak sumir. Namun kalau mengacu pada pemaknaan harfiah "dansa" sebagai suatu tarian berpasangan dari persepktif budaya atau khususnya seni tari sekalipun, biasanya pasangan yang menari "berdansa" biasanya sudah saling mengenal dengan baik pasangannya. Karena untuk suatu tarian dansa yang baik untuk suatu pergelaran tarian dansa maka sebaiknya harus terbentuk "chemistry" antar pasangan penari dansa tersebut. Ambil contoh dalam tarian dansa tradisional Sunda, dikenal tarian Jaipongan, maka pasangan penari jaipongan akan menyuguhkan tarian Jaipongan yang sangat bagus dan menarik perhatian publik atau penonton saat mereka menarikan dengan saling mendukung antara gerakan tarian pasangannya sesuai irama musik jaipongan sehingga terasa kesatuan gerak wirahma, wirasa dan wiraga dari pasangan penari "dansa" tradisional Sunda ini.
Namun nampaknya, belum juga tarian dansa politik ini dipertunjukkan ternyata "orang tua salah satu penari" sudah menegur untuk tidak melanjutkan tarian "dansa politiknya". Semoga ini tidak berefek kemudian pada pelarangan tarian dansa tradisional Sunda yang dulu pernah juga mencuat dalam pemberitaan karena dianggap tidak sesuai dengan "ideologi politik penguasa daerah" pada masa itu.
(Mei. 2023. Ira Indrawardana. Antropolog UNPAD)