Bandung- Suaramudanews.com- Ada pergeseran pemahaman konsepsi tentang *Kampung* setelah muncul dikotomi konsep *Desa* dan *Kota*. Seolah Desa dan Kota ini dua kondisi yang memisahkan budaya yang sejatinya masih satu nafas. Istilah *kampung*, kalau kita ingat frase "Kampung halaman" menyiratkan pada suatu kenangan masa kecil dengan segenap budaya yang melingkupinya dan segenap pola kehidupan sosial yang membentuk diri kita menjadi manusia yang berkepribadian hingga kita mencintai dan selalu mengingat "kampung halaman" kita.
Dalam istilah Sunda dikenal beberapa konsep seperti : _banjar karang pamidangan_, _pakusarakan_, _tempat baligeusan ngajadi_, _lemah cai_, dsb. Bagi orang Dayak Dusun, kampung itu dunia akhirat. Bagi orang Maanya, Dusun di Barito, kampung itu dunia akhirat. Orang yg sdh meninggal harus diantar oleh keluarganya ke kampung arwah melalui ritus Wara/ Tiwah agar sampai di kampung arwah (Lewu Liau) agar hidup sempurna di sana, bisa diajak berkomunikasi, dimintai pertolongan, dan sebagainya.
Namun suatu ketika istilah *kampung* ini mengalami "pendeskriditan" dengan pemaknaan "udik", "jorok", "dekil", "bodoh", "terbelakang" dsb ketika ada pelabelan sebagai "orang kampung" sampai pada pembulyan "kampungan" bagi mereka yang dianggap memegang dan mengukuhi suatu kebiasaan adat lokal atau tradisi setempat. Hal ini tanpa disadari justru merupakan bagian "pembunuhan jatidiri" kemanusiaan dan kebangsaan, sehingga berdampak orang lebih suka disebut sebagai "orang desa" dan "orang kota". Meski dalam istilah Jawa juga terkadang muncul istilah "wong ndeso" yang maksudnya sama dengan sindiran sebagai orang kampung dan "kampungan" atau "orang udik".
Padahal berdasarkan pengalaman saya ketika melakukan penelitian di Toraja sekitar tahun 2013, istilah kampung atau "tondok" itu meliputi konsep wilayah kosmologi yang meliputi ruang budaya meliputi adanya _tongkonan_(rumah adat), _alang_(lumbung padi), _panglambaran_ (tempat menggembala), kebun dan sawah, patane (tempat pemakaman) dan _liang_ ( tebing penyimpanan mayat), sumur air atau mata air, _rante_ (lokasi upacara) dengan jejeran _simbuang_ (batu monolit tempat mengikat kerbau sebelum pesta Rambu Solo (upacara kematian) dan tempat-tempat sakral lainnya.
Sehingga konsep sebagai "orang kampung" dalam konteks budaya Orang Toraja yang menganut ajaran leluhur _Aluk To Dolo_ justru mestinya merupakan konsep "penghormatan" sebagai orang yang menjaga adat dan tradisi leluhur bangsanya. Hal ini juga mestinya berlaku juga bagi siapapun merupakan atau mengidentifikasikan dirinya sebagai "orang kampung" atau "berasal dari suatu kampung" yang nota Bene mereka itu sebagai _Indegenous People_atau "orang pribumi" (tuan rumah) yang harusnya dihormati dan dilindungi keberadaanya oleh negara sebagai penjaga, perawat, pelestari kebudayaan bangsa (termasuk di dalamnya dilindungi dan dijamin eksistensi sistem kepercayaanya yang dikenal sebagai agama leluhur atau _traditional belief system_ sesuai konstitusi RI, UUD 1945).
(Penulis: Ira Indrawardana. Antropolog UNPAD)